Aku Cinta Produk Indonesia
Sebagai anak bangsa kita harus cinta merek Indonesia. Saya
tekankan di situ bahwa kita harus “cinta
merek Indonesia”, tidak cuma sekedar “cinta produk Indonesia”.
Yang tidak begitu peduli dengan pengertian “merek” dan “produk” barangkali akan menganggapnya sambil
lalu saja. Padahal dua kata itu memiliki pengeritan yang secara substansi
berbeda, tentu dengan implikasi kebijakan yang berbeda pula. Karena itu dalam
pengantar IBF tersebut saya menekankan bahwa kampanye cinta produk Indonesia
yang pernah begitu gencar dikampanyekan di masa Orde Baru sesungguhnya
mengandung pengertian yang misleading. Jangan salah,
misleading ini bisa membawa konskuensi yang tidak bisa dianggap remeh. Kenapa rupanya?
Produk vs Merek
Untuk menjelaskan perbedaan antara produk (product atau goods)
dan merek (brand)
paling gampang saya menggunakan contoh Starbucks. Starbucks
adalah contoh salah satu merek yang memiliki ekuitas tertinggi di dunia.
Tingginya ekuitas merek (brand equity) inilah yang kemudian membawa berkah luar
biasa bagi Starbucks dalam bentuk harga yang lebih tinggi (premium price) di
banding pesaingnya. Ekstrimnya saya sering menggambarkan, kopi tanpa merek yang
disajikan di warung kopi sebelah pasar Inpres mungkin dijual satu cangkir
seharga Rp.3000. Sementara kopi yang disajikan di gerai-gerai Starbucks yang
cool paling murah dijual Rp.30.000. Kenapa sama-sama kopi harganya bisa
njomplang seperti itu?
It’s the power of brand. Inilah hebatnya sebuah merek. Ingat,
kopi yang dikemas sedemikian rupa dan disajikan di gerai Starbucks adalah “merek”
(brand).
Sementara, kopi yang disajikan di warung kopi adalah produk (product/goods). Starbucks bisa
mahal karena ia menambahkan seabrek nilai dan manfaat (value & benefit)
yang membuatnya menjadi kopi istimewa berharga mahal. Manfaat itu bisa berupa
manfaat fungsional (functional benefit) maupun emosional (emotional benefits).
Nilai tambah itu bermacam-macam, mulai dari
kualitas biji kopi yang prima; pengolahan kopi yang excellent dan berteknologi
canggih; logo yang membanggakan, pilihan menu kopi yang komplit; store
experience pas untuk nongkrong; gengsi tinggi dan sarana pamer/narsis ke sesama
teman; medium untuk penanda identitas dan ekspresi diri (self-expression);
cerita dan legenda (brand story) yang mengitarinya; dan sebagainya.Makanya saya sering melontarkan guyonan:
“Harga kopi Starbucks Rp.33.000 itu, untuk beli kopinya cuma tiga ribu perak,
tiga puluh ribu perak sisanya untuk beli nongkrong, narsis, gengsi, dan
tetek-bengeknya.” Itulah istimewanya merek hebat bernama Starbucks.
Tidak Cukup Produk
Kembali ke persoalan semula, kenapa harus “merek” bukan “produk”. Kalau bangsa
ini hanya bisa menciptakan produk (apalagi produk itu hanya sebatas produk
komoditas: biji kopi, kelapa sawit, coklat, minyak mentah, batubara), maka kita
tak akan pernah mendapatkan nilai tambah tinggi. Kita menjadi bangsa kelas teri
yang hanya mampu menghasilkan kopi seharga Rp.3000 secangkir, bukan penghasil
merek kopi hebat seharga Rp.30.000 secangkir.
Kalau hanya pemain global seperti Starbucks
yang mampu mencipta nilai tambah tinggi melalui proses brand-building,
sementara pemain kita hanya bermain di produk atau barang komoditas bernilai
tambah Senen-Kemis, maka wajar saja kalau kita begitu gampang tergilas oleh
kekuatan raksasa merek global. Produk-produk kita haruslah ditingkatkan
kelasnya menjadi merek yang memiliki keunikan (diferensiasi) dan bernilai
tambah tinggi, syukur-syukur memiliki daya saing di pasar global.
Kita tak cukup mencipta produk kosmetik Indonesia, kita harus
membangun merek kosmetik hebat seperti Martha Tilaar, Mustika Ratu, atau Viva.
Kita tak cukup mencipta produk jamu Indonesia, kita harus membangun merek jamu
hebat seperti Sido Muncul, Jamu Jago,atau Nyonya
Meneer. Kita tak cukup mengembangkan buah Indonesia, kita juga
harus membangun ratusan atau bahkan ribuan merek sekelas Sunpride. Kita tak cukup
sekedar mencipta produk-produk elektronik Indonesia, kita juga arus membangun
merek-merek hebat sekelasPolytron.
Itulah sebabnya saya berkepentingan untuk mengingatkan kita
semua bahwa yang harus kita bangun dan perjuangkan bukanlah sekedar produk
apalagi barang komoditas, tapi adalah merek Indonesia. Harus diingat, membuat
produk Indonesia itu gampang, tapi membangun merek Indonesia yang berdaya saing
dan bernilai tambah tinggi itu bukan pekerjaan mudah, butuh perjuangan sampai
titik darah penghabisan. Membangun merek-merek hebat Indonesia seperti Sosro,
Garuda Indonesia, Indomie, Fastron, Promag, J.Co, Tolak Angin, atauBatik Keris adalah pekerjaan besar yang
membutuhkan upaya keras puluhan bahkan ratusan tahun.
Middle Income Trap
Bicara “produk vs merek” saya jadi teringat fenomena “middle-income trap”,
yaitu fenomena negara-negara berpendapatan menengah (middle income countries)
yang “terjebak di tengah”
tidak bisa melaju lebih jauh menjadi negara maju. Perlu diketahui bahwa
Indonesia kini telah masuk dalam jajaran negara berpendapatan menengah. Apakah
Indonesia mampu terus melaju menjadi negara maju baru, atau stuck in the middle
tertahan di tengah, sangat tergantung dari kemampuan bangsa ini menghasilkan
barang-barang bernilai tambah tinggi.
Barang-barang bernilai tambah tinggi ini bisa
terwujud karena dua faktor. Pertama karena kandungan teknologinya tinggi
(otomotif, elektronik, semikonduktor, perangkat lunak, farmasi, dsb). Kedua,
barang-barang tersebut memiliki ekuitas merek tinggi sehingga menikmati premium
price di antara pesaing-pesaingnya.
Jadi, sesungguhnya Indonesia tidak perlu galau kalau tidak bisa
mewujudkan mobil nasional (yup, Esemka) atau pesawat
nasional (N-250)
yang kandungan teknologinya setinggi langit. Agar tak terkena middle income
trap, Indonesia juga bisa membangun secara massal warung Tegal yang memiliki
ekuitas merek sekokoh McDonalds atau warung kopi dengan kekuatan merek sekokoh
Starbucks. Walaupun warung Tegal dan warung kopi kandungan teknologinya
barangkali rendah, namun kalau ekuitas mereknya selangit, maka nilai tambah
yang dihasilkan juga bisa tinggi tak kalah dengan industri otomotif atau
dirgantara.
So kesimpulannya, mulai sekarang ngomongnya “aku cinta merek-merek Indonesia”
ya, bukan “aku cinta
produk-produk Indonesia”. Viva merek-merek Indonesia!!! Bangkit
merek-merek Indonesia!!!
Komentar
Posting Komentar